Selasa, 29 Januari 2008

IMF Harus Bertanggung Jawab atas Penyimpangan BLBI

[Suara Merdeka] - Mantan Menko Perekonomian DR Rizal Ramli menegaskan, lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam kasus dugaan penyimpangan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan keuangan negara hingga ratusan triliun rupiah.

"Pihak IMF adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam kasus BLBI, karena telah menyarankan penutupan 16 bank pada November 1997," kata Rizal Ramli setelah diperiksa selama lima jam oleh Tim Jaksa Penyelidik Kejaksaan Agung, di Gedung Bundar Kejaksaan Agung Jakarta, Selasa (29/1).

Ia mengatakan, kasus BLBI berawal pada 1 November 1997 ketika IMF menyarankan kepada pemerintah Indonesia untuk menutup 16 bank tanpa persiapan yang memadai, akibat krisis moneter yang terjadi di beberapa kawasan.

"Akibatnya, masyarakat berbondong-bondong medatangi bank untuk menarik tabungannya untuk kemudian menyimpannya di rumah atau di bank-bank asing di dalam maupun di luar negeri," katanya dan menambahkan bahwa beberapa tahun kemudian IMF mengakui telah melakukan kesalahan besar karena menyarankan pemerintah Indonesia untuk menutup 16 bank tanpa persiapan yang memadai.

Akibat penarikan dana masyarakat pada bank-bank di Indonesia tersebut, terjadi capital outflow ke luar Indonesia lebih dari delapan miliar dolar AS.

Demi keadilan, pejabat pemerintah dan pejabat Bank Indonesia yang memutuskan penutupan 16 bank, harus diperiksa, karena penutupan 16 bank tersebut mengakibatkan Bank Indonesia harus mengeluarkan pinjaman BLBI.

Menurut dia, dalam kasus BLBI ini ada tiga tahapan yang kesemuanya berpotensi merugikan keuangan negara, baik tahap penyaluran, tahap penyerahan asset, maupun tahap penjualan aset.

Contoh paling spektakuler, katanya, kasus penjualan BCA senilai Rp5 triliun, padahal nilai BCA saat ini (Desember 2007) telah mencapai Rp92 triliun dan memiliki tagihan obligasi rekapitulasi senilai Rp60 triliun (bunga sekitar Rp6 triliun/tahun) pada saat penjualan BCA kepada konsorsium Farallon dan Djarum.

Ia mengatakan, dia walaupun mendapat tekanan dari berbagai pihak, termasuk dari Departemen Keuangan Amerika dan IMF, menolak penjualan BCA karena menilai waktu penjualannya tidak tepat.

Sebagai Menko Perekonomian sat itu dia juga bersikap tegas kepada obligor yang tidak atau kurang memenuhi kewajibannya dengan meminta kepada semua obligor yang penyerahan asetnya kurang memadai untuk menyerahkan aset tambahan.

Ia yang untuk pertama kalinya diminta keterangan dalam kasus ini, minta kepada Kejaksaan Agung untuk memeriksa dan meminta keterangan kepada pejabat pemerintah Indonesia baik yang sudah mantan maupun yang masih aktif agar kasus ini dapat dituntaskan.

"Periksa semua pejabat pemerintah yang antek-antek IMF, baik yang sudah tidak menjabat maupun yang masih menjabat, mengingat kasus ini mendesak untuk diselesaikan karena bisa kedaluwarsa pada Agustus 2008," demikian Rizal Ramli.

Sabtu, 26 Januari 2008

Gempur Tuntut Proses Hukum Dana BLBI Dituntaskan

[Liputan6.com] - Sejumlah mahasiswa bersama warga yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Penyelamat Uang Rakyat (Gempur) berunjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Jumat (25/1) siang. Unjuk rasa berlangsung dengan pengawalan ketat polisi.

Sejumlah pengunjuk rasa mengenakan pakaian mirip hantu pocong sebagai simbol matinya proses hukum kasus korupsi di Indonesia. Mereka juga membentangkan sejumlah poster bergambar sejumlah kalangan pengusaha dan mantan pejabat di era Orde Baru yang dituduh sebagai koruptor. Mereka juga mendesak kasus korupsi dana Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) yang berjumlah triliunan rupiah segera diusut tuntas.

Para pengunjuk rasa juga menuduh sebagian anggota DPR bersengkokol dengan para koruptor sehingga berupaya menghentikan pemanggilan para petinggi BI yang bermasalah. Sebab mereka turut menikmati aliran dana BI.

Jumat, 25 Januari 2008

Surat Interpelasi BLBI Segera Dikirim ke Presiden

[Suara Surabaya] - Agung Laksono Ketua DPR RI menegaskan surat interpelasi BLBI DPR akan dikirim ke Presiden, Senin mendatang. AGUNG mengatakan draft-draft pertanyaan soal kasus BLBI sudah dibuat tim perumus dari fraksi-fraksi di DPR.

Sebelum dikirim ke Presiden, menurut AGUNG seperti dilaporkan FAIZ reporter Suara Surabaya di Jakarta, Jumat (25/01), draft pertanyaan interpelasi BLBI dan kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI) maupun substansi surat akan ditembuskan ke pimpinan-pimpinan fraksi di DPR RI. Berikut penjelasan AGUNG, .

Diantara draft pertanyaan interpelasi BLBI dan KLBI DPR, menurut AGUNG, itu berhubungan dengan sikap politik dan hukum pemerintah terhadap kebijakan dan implementasi penyelesaian kasus BLBI.

AGUNG menyerahkan sepenuhnya pada pemerintah apakah yang hadir di DPR nanti Presiden atau diwakilkan menterinya. Sesuai undang-undang tidak harus Presiden yang hadir. Tetapi tim perumus interpelasi DPR tetap minta Presiden yang hadir. Jawaban Presiden penting untuk memastikan serius tidaknya pemerintah menuntaskan kasus BLBI-KLBI.
[Okezone Dotcom] - Interpelasi BLBI di DPR akan segera digulirkan. Terkait itu, Ketua Fraksi PDIP Tjahjo Kumolo mengatakan pihaknya menginginkan agar interpelasi BLBI dihadiri sendiri oleh presiden.

?Yang hadir harus presiden, paling tidak wapres,? ujar Tjahjo, di Gedung DPR, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (25/1/2008).

Tjahjo juga menginginkan dalam memberikan jawaban nanti, Presiden menetapkan target kapan masalah tersebut diselesaikan. Dia juga meminta aparat pemerintahan seperti Kejaksaan Agung terus pro aktif dalam hal ini.

Ketua DPP PDIP ini menegaskan bahwa pihaknya sepenuhnya mendukung interpelasi BLBI. ?Dengan catatan ada pemisahan antara obligor kooperatif dengan yang tidak kooperatif,? ujarnya

Selasa, 22 Januari 2008

Presiden Ditantang Selesaikan BLBI Sebelum 2008 Selesai

[Antara News] - Beberapa kalangan menantang presiden untuk menyelesaikan masalah kasus Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) sebelum tahun 2008 selesai.

"Bila masalah BLBI tidak selesai pada Agustus 2008, maka kasus ini akan kadaluarsa," kata Ketua Umum Masyarakat Profesional Madani, Ismeth Hasan Putro, dalam peluncuran buku "Skandal BI: Ramai-Ramai Merampok Negara" di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, kasus BLBI hanya bisa diselesaikan bila pemerintah benar-benar mau menyelesaikanya. "Sebab, kita bisa lihat bahwa BPK pada tahun 2000 telah memberikan laporan mengenai penyelewengan kasus ini," katanya.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Marwan Batubara, mengatakan bahwa bila presiden bisa menyelesaikan hal ini, maka ia akan mendukung presiden pada pemilu 2009. "Presiden tidak perlu mencari dana kampanye, dengan menyelesaikan kasus ini maka presiden dapat memperoleh simpati dan kita akan mendukung pada 2009," katanya.

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Sri Edi Swasono, mengatakan bahwa kasus itu menyengsarakan rakyat.

"Kasus BLBI tidak hanya hari ini, tapi hingga 2030 akan menyengsarakan rakyat. Apa pasal? Karena pemerintah juga harus membayar bunga obligasi rekap sebanyak Rp60 triliun per tahun," katanya.

Padahal, menurut dia, bila uang itu tidak untuk membayar bunga obligasi, maka dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Untuk itu, ia mengatakan, pemerintah harus menghentikan pembayaran bunga obligasi tersebut.

Sedangkan, mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) Kwik Kian Gie, menceritakan bahwa awalnya bank-bank kolaps, maka pemerintah oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dipaksa untuk memperkuat modal perbankan dengan memberikan kucuran dana melalui obligasi rekap.

"Bank BCA, misalnya, mendapatkan obligasi rekap sebesar Rp60 triliun untuk menyehatkannya, setelah itu oleh IMF diminta untuk dijual, dan dijual dengan harga Rp20 triliun, bagaimana ini, itung-itungan bisnisnya saya 'nggak nyampe'," katanya.

Dan, ia mengemukakan, biaya bunga dari obligasi rekap tersebut kemudian harus dibayar oleh pemerintah setiap tahun. "Bank-bank yang dulu rusak dan dikucuri oleh pemerintah dengan uang, tidak ngapa-ngapain dapat dana dari pemerintah Rp60 triliun setahun, ini apa namanya," katanya.

Untuk itu, ia mendesak, agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tegas terhadap masalah ini. (*)