Jumat, 29 Februari 2008

Kwik Sudah Perkirakan Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim Bebas

[Kompas] - Mantan Menteri Koordinator Ekonomi dan Keuangan Kwik Kian Gie mengaku tidak terlalu kecewa dengan hasil penyelidikan tim Kejaksaan Agung dalam kasus BLBI yang akhirnya membebaskan kedua mantan pemegang saham Bank Central Asia (BCA) Anthony Salim dan Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim, dengan alasan tidak adanya perbuatan hukum yang dilanggarnya.

Menurut Kwik, saat dihubungi Kompas di Jakarta, Jumat (29/2) petang, sejak ia diperiksa berkali-kali selama delapan jam di Kejaksaan Agung, ia sudah mempertanyakan sebenarnya untuk apa pemeriksaan kembali mantan dua debitor kakap BLBI itu.

"Saya sudah memperkirakan bahwa ujung dari pemeriksaan ini akan berakhir happy ending bagi kedua mantan debitor kakap BLBI itu. Dengena dinyatakannya mereka tidak terbukti perbuatan melawan hukumnya, maka artinya mereka mendapatkan pembebasan untuk kedua kalinya," tandas Kwik.

Kasus BLBI : Kejagung Bebaskan Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim

[Kompas] - Kejaksaan Agung menghentikan penyelidikan dua kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah diselidiki selama tujuh bulan. Kedua kasus tersebut adalah terkait penyerahan aset oleh pemegang saham di Bank Central Asia (BCA) dan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI)."Baik BLBI I (BCA) dan BLBI II (BDNI),tidak diketemukan unsur dugaan perbuatan melawan hukum yang mengarah kepada tindak pidana korupsi karena semuanya telah dilaksanakan sesuai ketentuan hukum yang berlaku," tegas Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kemas Yahya Rahman dalam jumpa pers di Kejagung, Jumat (29/2).

Menurut Kemas,dari hasil penyelidikan yang dilakukan tim jaksa BLBI, pemegang saham pada dua Bank tersebut telah menyerahkan aset mereka guna melunasi seluruh hutang BLBI-nya. Dalam kasus Bank BCA, pemegang saham yakni Soedono Salim atau Liem Sie Liong dan anaknya yakni Anthony Salim,telah menyerahkan 108 aset perusahaan miliknya kepada BPPN. Hutang BCA sebesar Rp 52,7 triliun, kemudian dinyatakan lunas setelah Salim dan anaknya menandatangani master settlement of accusition asset (MSAA) pada tahun 2004.

Meskipun dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),aset yang diserahkan tersebut nilainya hanya Rp 19 triliun, Kejaksaan tetap tidak menemukan unsur korupsinya. "Dalam MSAA, diatur kalau terjadi kerugian maupun keuntungan dari penjualan aset, adalah resiko yang harus ditanggung pemerintah," tambah Kemas.

Sedangkan untuk kasus BLBI II yakni BDNI, pada tahun 1998 mendapat kucuran BLBI sebesar Rp 47,25 triliun. Namun setelah dihitung kembali, hutang BLBI yang belum dilunasi sebesar Rp 28,4 triliun. Untuk melunasi hutangnya, pemegang saham yakni Sjamsul Nursalim membayar kas sebesar Rp 1 triliun dan menyerahkan tiga aset perusahaan antara lain PT Dipasena dan PT Gajah Tunggal. Sjamsul Nursalim pun lantas menandatangani MSAA dan dinyatakan seluruh hutangnya lunas.

Dengan dihentikannya penyelidikan kedua kasus ini, Kejagung akan menyerahkan kembali dua kasus BLBI ini kepada Menteri Keuangan. "Kita serahkan semuanya ke Menkeu. Kalau Menkeu menyatakan perlu dilakukan secara perdata, nanti akan ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara," tambah Kemas.

Kejagung Lempar Kasus BLBI ke Depkeu

[Okezone] - Kejaksaan Agung akhirnya menyerah untuk melakukan penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) I dan II. Sebagai tindak lanjutnya, Kejaksaan Agung meminta kepada Departemen Keuangan untuk meneruskan kasus pengemplangan dana negara ini.

"Soal penurunan nilai aset, akan dihitung secara ekonomi, dan kita serahkan kepada Menkeu, kemudian naik turunnya, nilai BLBI I dan II kita serahkan kepada Depkeu," kata Jampidsus Kejaksaan Agung Kemas Yahya Rahman di kantornya, Jalan Sultan Hasanudin, Jakarta Selatan, Jumat (29/2/2008).

Menurut Kemas, apprasial yang terdiri dari orang independen, sudah menghitung dengan benar. Saat itu, meski waktu massa penjualan hanya diberi waktu satu bulan dengan dokumen formal, tapi penghitungan dilakukan dengan benar.

Sebelumnya Kemas juga menyatakan 35 jaksa penyelidik kasus BLBI untuk dibubarkan. Karena dia melihat dalam kasus ini tidak terdapat unsur pidananya.

Rabu, 13 Februari 2008

Jawaban Pemerintah atas Interpelasi BLBI, SBY Tetap Kukuh Lanjutkan Kebijakan Mega

[Radar Bogor] - Sidang paripurna DPR yang mengagendakan jawaban pemerintah atas interpelasi penanganan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kemarin berlangsung ”panas”. Selain diwarnai hujan interupsi, beberapa anggota dewan ada yang walk out. Bahkan, sidang sempat diskors beberapa kali.

Sejak dibuka sekitar pukul 10:15 WIB, anggota dewan langsung banyak yang menginterupsi. Protes wakil rakyat itu dilatarbelakangi ketidakhadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Perdebatan terkait pasal 173-174 Tata Tertib DPR RI itu berlangsung lebih dari satu jam.

Abdullah Azwar Anas dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) menilai SBY banyak tahu tentang kebijakan BLBI. Sebab, pada saat Megawati Soekarnoputri menjabat presiden, SBY menduduki kursi menteri koordinator politik dan keamanan (Menko Polkam). ’’Karena menjabat Menko saat itu, pasti setiap rapat kabinet tahu kebijakan itu diambil,’’ kata Azwar.

Fraksi Partai Demokrat (FPD, partainya SBY), langsung bereaksi mendengar pernyataan Azwar. Dengan suara lantang, Ketua FPD Syarif Hasan mengingatkan bahwa kasus BLBI merupakan bagian dari kebijakan moneter dan fiskal. Bukan kebijakan politik dan keamanan (polkam). ’’Jadi, jangan dikait-kaitkan dengan hal-hal yang tidak relevan seperti itu. Bapak Susilo Bambang Yudhoyono saat itu Menko Polkam (dulu, Red), bukan Menkeu (menteri keuangan),’’ tandasnya.

Dradjad Wibowo, anggota dewan dari FPAN, menimpali. Dia mengatakan, dalam tim perwakilan pemerintah yang diutus SBY untuk menjawab interpelasi BLBI, hadir pula Menko Polhukam Widodo A.S. Artinya, posisi Menko Polkam saat itu seharusnya mengetahui kebijakan BLBI. ’’Kita lihat di ruangan ini ada Pak Menko Polhukam yang diutus presiden ikut hadir menjawab interpelasi. Apakah Pak Widodo berarti tidak tahu soal BLBI ini?’’ kata Dradjad bernada tanya.

Kondisi semakin memanas ketika sejumlah wakil rakyat meminta agar kopian jawaban interpelasi pemerintah dibagikan lebih dulu sebelum dibacakan Menko Perekonomian Boediono. Sidang pun diskors lima menit untuk memberikan waktu kepada staf sekretariat jenderal menggandakan kopian jawaban interpelasi.

Setelah dibagikan, masih saja ada yang dipersoalkan. Sebab, ternyata jawaban pemerintah tersebut menggunakan kop Kementerian Koordinator bidang Perekonomian. Yang membuat sejumlah anggota dewan semakin meradang adalah jawaban tersebut hanya ditandatangani oleh Menko perekonomian dan menteri keuangan. ’’Ini penghinaan bagi lembaga dewan,’’ tegas Aria Bima dari FPDIP.

Minggu, 10 Februari 2008

KPK Jangan Tebang Pilih Terkait Kasus BLBI

[Antara News] - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nurwahid meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak "tebang pilih" terkait penanganan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"KPK harus betul-betul tidak melakukan tebang pilih kasus dana BI yang sudah jadi konsumsi publik ini. Kalau KPK tebang pilih maka artinya akan membuat apatisme publik terhadap pemberantasan korupsi," katanya usai silaturahmi dengan para ulama Aceh di Banda Aceh, Minggu.

KPK telah memeriksa sejumlah pejabat dan mantan pejabat Bank Indonesia terkait dana Rp100 miliar melalui Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) antara lain untuk anggota DPR periode 1994-2004.

Hidayat mengatakan, KPK harus benar-benar melaksanakan komitmennya untuk tidak tebang pilih dan melakukan penegakan hukum sesuai dengan aturan yang berlaku, tapi tetap berdasarkan azas praduga tak bersalah.

Menurut dia, siapa pun yang dipanggil KPK maka belum berarti terlibat tetapi harus dibuktikan terlebih dahulu.

Menanggapi kemungkinan ketidakhadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam interpelasi BLBI di DPR , menurut Hidayat, secara pibadi lebih baik Presiden hadir.

Akan tetapi karena tidak ada aturan yang mewajibkan Presiden harus hadir maka tidak ada aturan yang dilanggar.

Dia mengharapkan ketidakhadiran tersebut tidak menjadi masalah politis.

"Jangan dipolitisasi dan dipermasalahkan ketidakhadirannya, sementara esensi tentang BLBI itu sendiri tidak tersentuh," katanya.(*)