Rabu, 12 Maret 2008

BLBI Nursalim Dianggap Selesai

[my Semarang] - Tak hanya kasus BLBI BDNI (Nursalim), penyelidikan kasus pengembalian dana BLBI BCA (Anthony Salim) juga sudah dikunci. Sudah dilakukan penyelidikan tujuh bulan. Hasilnya SKL (surat keterangan lunas yang diterima Nursalim dan Anthony Salim) itu tidak memenuhi unsur pidana, jadi tidak akan dibuka lagi, ujar Hendarman usai rapat koordinasi dengan Meko Polkam Widodo A.S. dan Menko Perekonomian Boediono di Kantor Menko Polkam kemarin.

Padahal, sejumlah anggota DPR saat rapat kerja dengan Hendarman beberapa waktu lalu meminta Kejagung membuka kembali penyelidikan BLBI Nursalim. Alasannya, suap Rp 6 miliar yang diterima Urip diduga kuat berkaitan dengan penghentian penyelidikan kasus Nursalim. Urip adalah koordinator jaksa BLBI Mursalim, sedangkan Arthalyta Suryani alias Ayin yang diduga memberi suap adalah kerabat Nursalim. Bahkan, transaksi itu berlangsung di rumah sang taipan terebut.

Kasus BLBI Nursalim itu memang ruwet. Berdasarkan audit BPK, total BLBI yang diterima Nursalim untuk menyuntik BDNI sebesar Rp 37,039 triliun. Setelah diambil BPPN, sisa kewajiban yang harus dibayar Nursalim menjadi Rp 28,4 triliun. Pemilik Gadjah Tunggal itu lantas menyerahkan sejumlah aset seperti tambak Dipasena dan penyerahan uang kontan Rp 1 triliun. Setelah dijual, aset yang diserahkan hanya laku Rp 3 triliun lebih.

Namun, di era pemerintahan Megawati, keluar SKL (surat keterangan lunas). Di zaman SBY ini diadakan penyelidikan apakah pelunasan itu bermasalah atau tidak. Tim yang dipimpin Urip Tri Gunawan menyatakan bahwa tak ada korupsi dalam pengembalian utang BLBI Nursalim.

Penyelidikan dua kasus BLBI (Nursalim dan Salim) yang dihentikan Kejagung tidak akan dibuka lagi. Meskipun, jaksa Urip disidik KPK, ujar Hendarman.

Dia lantas membeberkan bahwa penyelidikan yang dilakukan jaksa agung muda pengawasan berbeda dengan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Tidak akan tumpang tindih karena kita menyelidiki dari sisi etika kejaksaan, katanya.

Hendarman juga meminta semua pihak menunggu hingga tuntas penyidikan oleh KPK. Nanti kita lihat apakah jual beli permata atau suap, itu di pengadilan yang saya tidak akan campur tangan, katanya.

Bagaimana usul agar BLBI diselidiki dengan delik pidana perbankan sesuai usul BPK? Menurut jaksa agung, hal itu tidak mungkin. Sebab, pemberian bantuan kredit tersebut dilakukan sebelum ada Undang-Undang No 25 Tahun 2000. Perbuatan yang terjadi sebelumnya dianulir dengan UU itu, katanya.

Senin, 10 Maret 2008

Artalyta Mengaku Tak Terkait Sjamsul Nursalim

[Liputan 6] -OC Kaligis, kuasa hukum Artalyta Suryani menyatakan, kliennya tidak terkait sama sekali dengan obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim. Kaligis juga menegaskan bahwa uang Rp 6 miliar yang diserahkan kepada jaksa Urip Tri Gunawan bukan milik Sjamsul. Hal ini ditegaskan Kaligis usai pemeriksaan Artalyta oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Senin (10/3) KPK Periksa Artalyta Suryani .

Selain Artalyta, KPK juga kembali memeriksa Urip. Pemeriksaan terhadap Ketua Tim Jaksa Penyelidik Bantuan Likuiditas Bank Indonesia II ini berakhir pukul 21.00 WIB. Usai pemeriksaan Urip tetap bungkam ketika wartawan mencecarnya dengan pertanyaan. Kasus ini berawal ketika KPK menggerebek rumah Sjamsul Nursalim. Di tempat ini mereka menangkap Urip dan Artalyta berikut barang bukti uang sebesar Rp 6 miliar.(IAN/Tim Liputan 6 SCTV)

Jumat, 07 Maret 2008

Keluarga Artalyta Minta Hormati Azas Praduga Tak Bersalah

[Plin-Plan] -Sosok Artalyta Suryani kini terus menjadi sorotan publik. Tak tega melihat hal itu, sang anak pun angkat bicara.

“Kami meminta masyarakat untuk menghormati praduga tak bersalah,” kata Rommy Surya Dharma, salah seorang anak Artalyta kepada detikcom, Jumat (7/3/2008).

Artalyta Suryani adalah 'sosialita' yang punya banyak relasi dengan politisi maupun pengusaha top. Karena itu, tak heran penangkapannya membuat banyak orang kaget.
Artalyta dikenal sebagai orang dekat Sjamsul Nursalim, obligor BLBI. Kedekatan ini bermula dari pernikahan Ayin atau Aying, panggilan akrab Artalyta, dengan Surya Dharma. Surya adalah bos Gajah Tunggal, salah satu perusahaan Sjamsul.

Aying juga merupakan tetangga dekat Sjamsul di Lampung. Saat Surya meninggal dunia beberapa tahun lalu, Aying tetap dekat dengan Sjamsul. Dia pernah diserahi tugas mengelola tambak udang Dipasena milik Sjamsul di Lampung.

Bila Aying ke Jakarta, dia sering menginap di rumah pribadi Sjamsul di Jl Hang Lekir, Kebayoran, Jakarta Selatan. Tapi kini Aying telah memiliki rumah sendiri di Jl Pakubuwono, tak jauh dari Jl Hang Lekir.

Di Lampung, Aying juga memiliki bisnis properti yang tengah berkibar yaitu PT Bukit Alam Surya. Dia juga disebut-sebut memiliki bisnis perhiasan permata.
(djo/djo)

Selasa, 04 Maret 2008

KPK Belum Temukan Kaitan Sjamsul Nursalim Dengan Arthalita

Antasari akan terus mengembangkan kasus sesuai alat bukti yang didapat KPK dan tidak akan berspekulasi tentang hubungan Sjamsul dan Arthalita terkait kasus dugaan suap tersebut. “Yang kelihatan adalah AS memberikan uang,” kata Antasari.

Sebelumnya, KPK menangkap Urip Tri Gunawan di salah satu rumah di Jakarta Selatan, Minggu (2/3) karena diduga menerima uang suap sebesar 660 ribu dolar AS atau lebih dari Rp6 miliar.
Urip ditangkap bersama Arthalita Suryani yang diduga sebagai pemberi uang. Mereka berstatus tersangka dan ditahan. Juru Bicara KPK, Johan Budi mengatakan pemberian uang itu diduga adalah bentuk penyuapan terkait kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Seperti diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Agung Jumat (29/2) mengumumkan menghentikan penyelidikan dua kasus BLBI yang melibatkan obligor Bank Central Asia (BCA) dan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

Kejaksaan Agung tidak menemukan perbuatan melawan hukum yang mengarah pada tindak pidana korupsi dalam kedua kasus tersebut. Jaksa Urip sebelumnya menjabat Ketua Tim Penyelidik kasus BLBI dengan obligor BDNI, sebuah bank milik Sjamsul Nursalim

Senin, 03 Maret 2008

Pengacara Sjamsul Nursalim: Saya Tidak Tahu Menahu

[Detik Dotcom] - Jaksa Urip Tri Gunawan tertangkap tangan menerima uang 660 ribu dolar AS atau sekitar Rp 6 miliar di rumah obligor BLBI Sjamsul Nursalim. Pengacara Sjamsul mengaku tidak tahu menahu. Jaksa Urip adalah ketua tim pengusutan kasus BLBI khusus yang berkaitan dengan Syamsul Nursalim.
"Saya nggak tahu kejadian itu, karena tidak ada info apapun kepada kami," tegas pengacara Sjamsul, Maqdir Ismail, saat dihubungi detikcom, Senin (3/3/2008).

Maqdir menilai kasus penangkapan jaksa Urip tidak jelas terkait hal apa. "Tidak jelas ditangkap dalam hubungan dengan kasus apa. Kita benar-benar tidak tahu menahu dengan kejadian itu, berhubungan dengan apa," tuturnya.

Dia juga tidak terlalu yakin penangkapan tersebut terkait suap BLBI. "Kalau dikaitkan dengan BLBI kok kayaknya sumir sekali. Apa iya seperti itu? Kasus BLBI kan sudah lama, sudah bertahun-tahun dan beberapa kali ganti pemerintahan," ujarnya.

Jaksa Urip ditangkap atas dugaan menerima suap dari Sjamsul yang kini hengkang ke Singapura, Minggu kemarin. Namun dalam pengakuannya, Urip mengatakan, uang tersebut terkait bisnis jual beli permata yang dilakoninya sejak setengah tahun lalu.

Pekan lalu, Kejaksaan Agung mengumumkan menutup dua kasus BLBI yang melibatkan konglomerat Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim. Penutupan kasus dilakukan karena tidak ada bukti melawan hukum.

Sjamsul Nursalim merupakan pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang menjadi salah seorang obligor penerima Surat Keterangan Lunas (SKL) dari pemerintah, namun aset yang diserahkan ke BPPN tidak sesuai dengan kewajiban yang harus dibayarkan.

Utang BDNI milik Sjamsul sebesar Rp 42,7 triliun dibayarkan dengan asetnya senilai Rp 18 triliun. Sisanya Rp 28 triliun dibayar pemegang saham BDNI dengan 3 perusahaan dan uang senilai Rp 1 triliun.

Pada kenyataannya setelah dijual aset itu mengalami penurunan tajam. Aset Sjamsul dilepas dengan harga Rp 3,4 triliun. ( umi / nrl )

Jaksa Diperiksa KPK Adalah Anggota Tim Jaksa BLBI

[Okezone Dotcom] - eka-teki mengenai Jaksa yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkuak sudah. Dia adalah anggota tim penyidik kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Urip Tri Gunawan (UTG). Dia juga mantan Kajari Klungkung Bali.

Hal ini terungkap, sekira pukul 23.00 WIB setelah Urip yang mengenakan kemeja putih lusuh keluar gedung KPK untuk menyaksikan penggeledahan mobil yang dikendarainya saat ditangkap, Kijang Silver DK 1832 CS di depan Lobi KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Minggu (2/3/3008).

Saat keluar KPK, Kemeja urip yang berwarna putih tampak kotor dan lusuh di bagian belakang dan bagian depan. Tidak diketahui, apa yang menyebabkan lusuh dan kotornya kemeja Urip.

Setelah beberapa menit menyaksikan penyidik KPK menggeledah mobilnya, Urip langsung masuk kembali ke Gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan kembali.

Sekedar diketahui, Jumat (28/2) Kejagung menghendikan penyelidikan kasus dugaan korupsi BLBI I dan II. Tim Jaksa BLBI sebanyak 35 orang, di antaranya UTG, yang dibentuk Juni 2007 pun dibubarkan.

Penghentian penyelidikan itu karena Kejagung menilai tidak ada tindakan melawan hukum dalam kedua kasus tersebut. Menurut Jampidsus Kemas Yahya Rahman, dalam kasus tersebut, penyerahan aset yang menerima dana BLBI sudah sesuai ketentuan yang berlaku.

LBH Desak KPK Ambil Alih Kasus BLBI

[Kompas] - Komisi Pemberantasan Korupsi didesak untuk mengusut kembali , korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang baru-baru ini dihentikan penyelidikannya oleh Kejaksaan Agung.

Hal ini perlu dilakukan menyusul tertangkap tangannya Ketua Tim Penyelidik BLBI, Jaksa Urip Tri Gunawan, oleh penyidik KPK yang diduga menerima suap sebesar 660 ribu US Dolar dari Syamsul Nursalim

"Ini menjadi legitimasi buat KPK untuk mengambil alih kasus itu. Dengan adanya suap ini berarti Kejagung telah menutup-nutupi korupsi ini. Jaksa Agung Hendarman harusnya malu dan meminta maaf kepada publik," ujar Hermawanto dari Lembaga Bantuan Hukum, Senin (3/2).

Tidak hanya meminta maaf, Hendarman juga diminta mengevaluasi kembali kasus BLBI termasuk kinerja penyelidiknya. "Yang juga penting adalah memberikan sanksi kepada jaksa yang ber

KPK Harus Ambil Alih dan Buka Lagi Kasus BLBI

[Kapanlagi.com] - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak untuk mengambil alih kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah ditutup Kejaksaan Agung.

Desakan tersebut dilontarkan Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Gerakan Moral Ormas Islam Jihad Melawan Koruptor BLBI Abdul Asrie Harahap di Jakarta, Senin, terkait penangkapan Ketua Tim Pemeriksa BLBI II Jaksa UTG oleh KPK.

"Dengan ditangkapnya ketua tim pemeriksa kasus BLBI oleh KPK berarti keputusan penutupan kasus BLBI harus ditinjau ulang. Kasus BLBI harus dibuka kembali," katanya.

Namun, lanjut Asrie, secara moral Kejagung tidak lagi layak memeriksa kasus tersebut sehingga penyelidikan lebih lanjut harus dilakukan KPK.

"Kejagung telah mengerahkan 35 jaksa terbaik di negeri ini tapi hasilnya hanya menutup kasus BLBI dan ujung-ujungnya ketua timnya ditangkap karena dugaan menerima suap dari obligor," katanya.

Lebih lanjut Asrie mengatakan, terkait penangkapan UTG, KPK juga harus memeriksa atasan UTG, termasuk Jampidsus Kemas Yahya Rahman dan Jaksa Agung Hendarman Supandji.

Ditanya tentang pernyataan Jampidsus bahwa penghentian kasus BLBI merupakan rekomendasi tim 35, bukan rekomendasi UTG, Asrie mengatakan, hal itu harus juga diselidiki.

"Dia (UTG) itu ketua tim. Di mana-mana ketua tim memegang peranan penting dari perencanaan hingga pelaksanaan, sehingga bukan mustahil dia berperan banyak dalam penyusunan rekomendasi tim 35," katanya.

Jaksa Kasus BLBI Ditangkap KPK

[Liputan6.com] - Seorang jaksa staf Kejaksaan Agung yang menangani kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ditangkap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi di rumah milik pengusaha Syamsul Nursalim di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan, Ahad (2/3) petang. Dari tangan jaksa berinisial UTG tersebut penyidik KPK menyita uang sebesar US$ 660 ribu atau sekitar Rp 6 miliar. KPK juga menahan AS dan seorang penjaga rumah Syamsul Nursalim.

Juru Bicara KPK Johan Budi SP menyatakan, penerimaan uang ini diduga terkait dengan penghentian kasus BLBI oleh Kejaksaan Agung. Namun, UTG menolak tuduhan penyuapan itu. Ia menyatakan uang tersebut adalah hasil bisnis sampingannya berupa jual beli permata.

Setelah menangkap UTG, KPK tadi malam juga menggeledah rumah milik Syamsul Nursalim. Penyidik KPK berusaha mendapatkan barang bukti terkait indikasi penyuapan. Namun, di rumah mewah itu wartawan tidak diperkenankan masuk. Hingga kini belum ada penjelasan tentang hasil penggeledahan.

Seperti diberitakan sebelumnya, Jumat pekan lalu Kejagung menghentikan penyelidikan kasus BLBI yang merugikan negara sampai Rp 600 triliun. Kejagung menilai, Syamsul Nursalim selaku pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia telah menyelesaikan kewajiban membayar utang kepada negara [baca: Kejaksaan Tak Temukan Indikasi Korupsi].(ADO/Fira Abdurachman dan Agus Prijatno)

Sabtu, 01 Maret 2008

Anthoni Salim dan Sjamsul Nursalim Lolos

[Masyarakat Transparansi] - Kejaksaan Agung menghentikan penyelidikan dugaan korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia oleh Anthoni Salim dan Sjamsul Nursalim, masing-masing sebagai pemilik Bank Central Asia dan Bank Dagang Negara Indonesia. Kejaksaan tidak menemukan bukti adanya korupsi.

"Kami tidak menemukan unsur perbuatan melawan hukum yang mengarah pada tindak pidana korupsi," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman kepada wartawan di gedung Kejaksaan Agung kemarin.

Namun, menurut Kemas, penyelidikan ini tidak terkait dengan masalah pengucuran dan penggunaan BLBI. Hal itu dianggap sudah selesai. "Kami tidak menilai itu lagi," ujarnya.

Kedua obligor, Kemas menjelaskan, sudah melunasi semua utangnya. Anthoni, yang memiliki utang Rp 52,7 triliun, membayarnya lewat penyerahan 92,8 persen saham BCA kepada pemerintah. Sjamsul, yang berutang Rp 47 triliun, membayar kepada pemerintah dengan menyerahkan aset BDNI senilai Rp 18,85 triliun. Sisa utang dibayar tunai Rp 1 triliun berikut penyerahan aset Dipasena, Gajah Tunggal Tire, dan Gajah Tunggal Petroseal.

Masalahnya, nilai aset kedua obligor saat dijual susut. Kejaksaan Agung diminta menyelidiki hal ini, termasuk dugaan adanya praktek korupsi di situ. Penyelidikan yang dimulai dari 19 Juli 2007, kata Kemas, menyimpulkan tidak ditemukan kesalahan dalam penilaian aset oleh tim independen penaksir harga.

Sebagai contoh, kata Kemas, nilai tambak udang Dipasena pada 1999 sebesar Rp 19,6 triliun. Nilai ini merosot tajam menjadi Rp 400 miliar pada 2007. Penyebab merosotnya nilai aset, kata Kemas, "Lihat tenggat waktunya."

Pengacara Anthoni Salim, Todung Mulya Lubis, mendukung sikap kejaksaan. Menurut dia, kliennya telah melunasi utang kepada pemerintah. "Dia sudah mengantongi surat keterangan lunas (SKL)," ujarnya kepada Tempo kemarin. Anthoni, Todung mengklaim, adalah obligor yang paling kooperatif karena bersedia memenuhi panggilan kejaksaan dua kali, pada 6 dan 11 Desember 2007.

Pernyataan serupa disampaikan pengacara Sjamsul Nursalim, Maqdir Ismail, yang menilai penghentian penyelidikan itu wajar. "Karena memang tidak ada tindak pidananya," katanya kemarin. Menurut dia, persoalan utang kliennya sudah selesai sejak perjanjian penyelesaian utang ditandatangani pada 21 September 1998.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan akan mempelajari kembali kasus BLBI setelah kejaksaan menyerahkan berkas hasil penyelidikan atas dua obligor itu. "Akan kami lihat apakah SKL masih bisa dilihat lagi," ujar Sri di kantornya kemarin. Ada kemungkinan pihaknya akan menggunakan jalur perdata atau penagihan melalui Panitia Urusan Piutang Negara.

Selanjutnya kejaksaan, menurut Kemas, masih menyelidiki empat obligor yang dinilai tidak koperatif. Keempat obligor itu adalah Sjamsul Nursalim (Bank Dewa Rutji), Kaharudin Ongko (Bank Arya Panduartha), Kwan Benny Ahadi (Bank Orient), serta Andri Tedjadharma, Prasetya Utomo, dan Paul Banuara Silalahi (Bank Centris). Rini Kustiani | Agus Supriyanto | Maria Hasugian

Sumber: Koran Tempo - Sabtu, 01 Maret 2008

Pemerintah Dinilai Tak Serius Selesaikan Kasus BLBI

[Liputan6.com] - Keputusan Kejaksaan Agung menghentikan penyelidikan kasus dugaan korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) mendapat reaksi keras dari kalangan DPR. Anggota dewan menganggap pemerintah tak serius menuntaskan masalah yang sudah bergulir selama 10 tahun. "Kita setengah mati subsidi-subsidi, kok yang beginian kayak buang garam ke laut. Jadi, kalau nanti menjadi angket DPR, jangan kaget Kejaksaan Agung," jelas Ade Daud Nasution, interpelator kasus BLBI, di Jakarta, Sabtu (1/3).

Namun bagi pengamat ekonomi Chatib Basri, keputusan Kejaksaan Agung itu tidak perlu diributkan lagi. Menurut Chatib, akan lebih baik jika pemerintah saat ini fokus untuk mengusut obligor yang selama ini tidak kooperatif. "Kalau kita meributkan mengenai ini, itu mundur sekali. Jadi yang mesti kita lakukan adalah kalau ada rekomendasi, saya tak tahu apakah dari BPK masih ada obligor yang tidak kooperatif, itu saja yang difokuskan," ucap Chatib.

Tak ada tindak pidana korupsi. Itulah kesimpulan tim penyelidik BLBI Kejaksaan Agung terhadap Anthony Salim dari Bank Central Asia (BCA) dan Syamsul Nursalim dari Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Selain itu, kedua pengusaha tersebut juga dinilai telah menyelesaikan kewajiban membayar utang kepada negara.

Keputusan inilah yang mendasari Kejaksaan Agung untuk menghentikan penyelidikan kasus BLBI. Namun Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman menolak jika disebutkan pihaknya telah menghentikan kasus BLBI BCA dan BDNI. "Kejagung saat ini tidak menyelidiki kasus BLBI. Yang sedang diselidiki adalah kasus yang berkaitan dengan BLBI," tegas Kemas [baca: Jampidsus: Kejagung Tidak Menyelidiki BLBI].

Setelah membebaskan Anthony Salim dan Syamsul Nursalim, Kejaksaan Agung kini mengejar obligor yang tidak kooperatif. Antara lain Sjamsul Nursalim sebagai pemilik Bank Dewa Rutji, Kaharudin Ongko pemilik Bank Arya Panduartha, Kwan Benny Ahadi pemilik Bank Orient, dan Andri Tedjadarma, Prasetya Utomo, serta Paul Banuara Silalahi pemilik Bank Centris

Jumat, 29 Februari 2008

Kwik Sudah Perkirakan Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim Bebas

[Kompas] - Mantan Menteri Koordinator Ekonomi dan Keuangan Kwik Kian Gie mengaku tidak terlalu kecewa dengan hasil penyelidikan tim Kejaksaan Agung dalam kasus BLBI yang akhirnya membebaskan kedua mantan pemegang saham Bank Central Asia (BCA) Anthony Salim dan Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim, dengan alasan tidak adanya perbuatan hukum yang dilanggarnya.

Menurut Kwik, saat dihubungi Kompas di Jakarta, Jumat (29/2) petang, sejak ia diperiksa berkali-kali selama delapan jam di Kejaksaan Agung, ia sudah mempertanyakan sebenarnya untuk apa pemeriksaan kembali mantan dua debitor kakap BLBI itu.

"Saya sudah memperkirakan bahwa ujung dari pemeriksaan ini akan berakhir happy ending bagi kedua mantan debitor kakap BLBI itu. Dengena dinyatakannya mereka tidak terbukti perbuatan melawan hukumnya, maka artinya mereka mendapatkan pembebasan untuk kedua kalinya," tandas Kwik.

Kasus BLBI : Kejagung Bebaskan Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim

[Kompas] - Kejaksaan Agung menghentikan penyelidikan dua kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah diselidiki selama tujuh bulan. Kedua kasus tersebut adalah terkait penyerahan aset oleh pemegang saham di Bank Central Asia (BCA) dan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI)."Baik BLBI I (BCA) dan BLBI II (BDNI),tidak diketemukan unsur dugaan perbuatan melawan hukum yang mengarah kepada tindak pidana korupsi karena semuanya telah dilaksanakan sesuai ketentuan hukum yang berlaku," tegas Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kemas Yahya Rahman dalam jumpa pers di Kejagung, Jumat (29/2).

Menurut Kemas,dari hasil penyelidikan yang dilakukan tim jaksa BLBI, pemegang saham pada dua Bank tersebut telah menyerahkan aset mereka guna melunasi seluruh hutang BLBI-nya. Dalam kasus Bank BCA, pemegang saham yakni Soedono Salim atau Liem Sie Liong dan anaknya yakni Anthony Salim,telah menyerahkan 108 aset perusahaan miliknya kepada BPPN. Hutang BCA sebesar Rp 52,7 triliun, kemudian dinyatakan lunas setelah Salim dan anaknya menandatangani master settlement of accusition asset (MSAA) pada tahun 2004.

Meskipun dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),aset yang diserahkan tersebut nilainya hanya Rp 19 triliun, Kejaksaan tetap tidak menemukan unsur korupsinya. "Dalam MSAA, diatur kalau terjadi kerugian maupun keuntungan dari penjualan aset, adalah resiko yang harus ditanggung pemerintah," tambah Kemas.

Sedangkan untuk kasus BLBI II yakni BDNI, pada tahun 1998 mendapat kucuran BLBI sebesar Rp 47,25 triliun. Namun setelah dihitung kembali, hutang BLBI yang belum dilunasi sebesar Rp 28,4 triliun. Untuk melunasi hutangnya, pemegang saham yakni Sjamsul Nursalim membayar kas sebesar Rp 1 triliun dan menyerahkan tiga aset perusahaan antara lain PT Dipasena dan PT Gajah Tunggal. Sjamsul Nursalim pun lantas menandatangani MSAA dan dinyatakan seluruh hutangnya lunas.

Dengan dihentikannya penyelidikan kedua kasus ini, Kejagung akan menyerahkan kembali dua kasus BLBI ini kepada Menteri Keuangan. "Kita serahkan semuanya ke Menkeu. Kalau Menkeu menyatakan perlu dilakukan secara perdata, nanti akan ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara," tambah Kemas.

Kejagung Lempar Kasus BLBI ke Depkeu

[Okezone] - Kejaksaan Agung akhirnya menyerah untuk melakukan penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) I dan II. Sebagai tindak lanjutnya, Kejaksaan Agung meminta kepada Departemen Keuangan untuk meneruskan kasus pengemplangan dana negara ini.

"Soal penurunan nilai aset, akan dihitung secara ekonomi, dan kita serahkan kepada Menkeu, kemudian naik turunnya, nilai BLBI I dan II kita serahkan kepada Depkeu," kata Jampidsus Kejaksaan Agung Kemas Yahya Rahman di kantornya, Jalan Sultan Hasanudin, Jakarta Selatan, Jumat (29/2/2008).

Menurut Kemas, apprasial yang terdiri dari orang independen, sudah menghitung dengan benar. Saat itu, meski waktu massa penjualan hanya diberi waktu satu bulan dengan dokumen formal, tapi penghitungan dilakukan dengan benar.

Sebelumnya Kemas juga menyatakan 35 jaksa penyelidik kasus BLBI untuk dibubarkan. Karena dia melihat dalam kasus ini tidak terdapat unsur pidananya.

Rabu, 13 Februari 2008

Jawaban Pemerintah atas Interpelasi BLBI, SBY Tetap Kukuh Lanjutkan Kebijakan Mega

[Radar Bogor] - Sidang paripurna DPR yang mengagendakan jawaban pemerintah atas interpelasi penanganan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kemarin berlangsung ”panas”. Selain diwarnai hujan interupsi, beberapa anggota dewan ada yang walk out. Bahkan, sidang sempat diskors beberapa kali.

Sejak dibuka sekitar pukul 10:15 WIB, anggota dewan langsung banyak yang menginterupsi. Protes wakil rakyat itu dilatarbelakangi ketidakhadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Perdebatan terkait pasal 173-174 Tata Tertib DPR RI itu berlangsung lebih dari satu jam.

Abdullah Azwar Anas dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) menilai SBY banyak tahu tentang kebijakan BLBI. Sebab, pada saat Megawati Soekarnoputri menjabat presiden, SBY menduduki kursi menteri koordinator politik dan keamanan (Menko Polkam). ’’Karena menjabat Menko saat itu, pasti setiap rapat kabinet tahu kebijakan itu diambil,’’ kata Azwar.

Fraksi Partai Demokrat (FPD, partainya SBY), langsung bereaksi mendengar pernyataan Azwar. Dengan suara lantang, Ketua FPD Syarif Hasan mengingatkan bahwa kasus BLBI merupakan bagian dari kebijakan moneter dan fiskal. Bukan kebijakan politik dan keamanan (polkam). ’’Jadi, jangan dikait-kaitkan dengan hal-hal yang tidak relevan seperti itu. Bapak Susilo Bambang Yudhoyono saat itu Menko Polkam (dulu, Red), bukan Menkeu (menteri keuangan),’’ tandasnya.

Dradjad Wibowo, anggota dewan dari FPAN, menimpali. Dia mengatakan, dalam tim perwakilan pemerintah yang diutus SBY untuk menjawab interpelasi BLBI, hadir pula Menko Polhukam Widodo A.S. Artinya, posisi Menko Polkam saat itu seharusnya mengetahui kebijakan BLBI. ’’Kita lihat di ruangan ini ada Pak Menko Polhukam yang diutus presiden ikut hadir menjawab interpelasi. Apakah Pak Widodo berarti tidak tahu soal BLBI ini?’’ kata Dradjad bernada tanya.

Kondisi semakin memanas ketika sejumlah wakil rakyat meminta agar kopian jawaban interpelasi pemerintah dibagikan lebih dulu sebelum dibacakan Menko Perekonomian Boediono. Sidang pun diskors lima menit untuk memberikan waktu kepada staf sekretariat jenderal menggandakan kopian jawaban interpelasi.

Setelah dibagikan, masih saja ada yang dipersoalkan. Sebab, ternyata jawaban pemerintah tersebut menggunakan kop Kementerian Koordinator bidang Perekonomian. Yang membuat sejumlah anggota dewan semakin meradang adalah jawaban tersebut hanya ditandatangani oleh Menko perekonomian dan menteri keuangan. ’’Ini penghinaan bagi lembaga dewan,’’ tegas Aria Bima dari FPDIP.

Minggu, 10 Februari 2008

KPK Jangan Tebang Pilih Terkait Kasus BLBI

[Antara News] - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nurwahid meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak "tebang pilih" terkait penanganan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"KPK harus betul-betul tidak melakukan tebang pilih kasus dana BI yang sudah jadi konsumsi publik ini. Kalau KPK tebang pilih maka artinya akan membuat apatisme publik terhadap pemberantasan korupsi," katanya usai silaturahmi dengan para ulama Aceh di Banda Aceh, Minggu.

KPK telah memeriksa sejumlah pejabat dan mantan pejabat Bank Indonesia terkait dana Rp100 miliar melalui Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) antara lain untuk anggota DPR periode 1994-2004.

Hidayat mengatakan, KPK harus benar-benar melaksanakan komitmennya untuk tidak tebang pilih dan melakukan penegakan hukum sesuai dengan aturan yang berlaku, tapi tetap berdasarkan azas praduga tak bersalah.

Menurut dia, siapa pun yang dipanggil KPK maka belum berarti terlibat tetapi harus dibuktikan terlebih dahulu.

Menanggapi kemungkinan ketidakhadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam interpelasi BLBI di DPR , menurut Hidayat, secara pibadi lebih baik Presiden hadir.

Akan tetapi karena tidak ada aturan yang mewajibkan Presiden harus hadir maka tidak ada aturan yang dilanggar.

Dia mengharapkan ketidakhadiran tersebut tidak menjadi masalah politis.

"Jangan dipolitisasi dan dipermasalahkan ketidakhadirannya, sementara esensi tentang BLBI itu sendiri tidak tersentuh," katanya.(*)

Selasa, 29 Januari 2008

IMF Harus Bertanggung Jawab atas Penyimpangan BLBI

[Suara Merdeka] - Mantan Menko Perekonomian DR Rizal Ramli menegaskan, lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam kasus dugaan penyimpangan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan keuangan negara hingga ratusan triliun rupiah.

"Pihak IMF adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam kasus BLBI, karena telah menyarankan penutupan 16 bank pada November 1997," kata Rizal Ramli setelah diperiksa selama lima jam oleh Tim Jaksa Penyelidik Kejaksaan Agung, di Gedung Bundar Kejaksaan Agung Jakarta, Selasa (29/1).

Ia mengatakan, kasus BLBI berawal pada 1 November 1997 ketika IMF menyarankan kepada pemerintah Indonesia untuk menutup 16 bank tanpa persiapan yang memadai, akibat krisis moneter yang terjadi di beberapa kawasan.

"Akibatnya, masyarakat berbondong-bondong medatangi bank untuk menarik tabungannya untuk kemudian menyimpannya di rumah atau di bank-bank asing di dalam maupun di luar negeri," katanya dan menambahkan bahwa beberapa tahun kemudian IMF mengakui telah melakukan kesalahan besar karena menyarankan pemerintah Indonesia untuk menutup 16 bank tanpa persiapan yang memadai.

Akibat penarikan dana masyarakat pada bank-bank di Indonesia tersebut, terjadi capital outflow ke luar Indonesia lebih dari delapan miliar dolar AS.

Demi keadilan, pejabat pemerintah dan pejabat Bank Indonesia yang memutuskan penutupan 16 bank, harus diperiksa, karena penutupan 16 bank tersebut mengakibatkan Bank Indonesia harus mengeluarkan pinjaman BLBI.

Menurut dia, dalam kasus BLBI ini ada tiga tahapan yang kesemuanya berpotensi merugikan keuangan negara, baik tahap penyaluran, tahap penyerahan asset, maupun tahap penjualan aset.

Contoh paling spektakuler, katanya, kasus penjualan BCA senilai Rp5 triliun, padahal nilai BCA saat ini (Desember 2007) telah mencapai Rp92 triliun dan memiliki tagihan obligasi rekapitulasi senilai Rp60 triliun (bunga sekitar Rp6 triliun/tahun) pada saat penjualan BCA kepada konsorsium Farallon dan Djarum.

Ia mengatakan, dia walaupun mendapat tekanan dari berbagai pihak, termasuk dari Departemen Keuangan Amerika dan IMF, menolak penjualan BCA karena menilai waktu penjualannya tidak tepat.

Sebagai Menko Perekonomian sat itu dia juga bersikap tegas kepada obligor yang tidak atau kurang memenuhi kewajibannya dengan meminta kepada semua obligor yang penyerahan asetnya kurang memadai untuk menyerahkan aset tambahan.

Ia yang untuk pertama kalinya diminta keterangan dalam kasus ini, minta kepada Kejaksaan Agung untuk memeriksa dan meminta keterangan kepada pejabat pemerintah Indonesia baik yang sudah mantan maupun yang masih aktif agar kasus ini dapat dituntaskan.

"Periksa semua pejabat pemerintah yang antek-antek IMF, baik yang sudah tidak menjabat maupun yang masih menjabat, mengingat kasus ini mendesak untuk diselesaikan karena bisa kedaluwarsa pada Agustus 2008," demikian Rizal Ramli.

Sabtu, 26 Januari 2008

Gempur Tuntut Proses Hukum Dana BLBI Dituntaskan

[Liputan6.com] - Sejumlah mahasiswa bersama warga yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Penyelamat Uang Rakyat (Gempur) berunjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Jumat (25/1) siang. Unjuk rasa berlangsung dengan pengawalan ketat polisi.

Sejumlah pengunjuk rasa mengenakan pakaian mirip hantu pocong sebagai simbol matinya proses hukum kasus korupsi di Indonesia. Mereka juga membentangkan sejumlah poster bergambar sejumlah kalangan pengusaha dan mantan pejabat di era Orde Baru yang dituduh sebagai koruptor. Mereka juga mendesak kasus korupsi dana Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) yang berjumlah triliunan rupiah segera diusut tuntas.

Para pengunjuk rasa juga menuduh sebagian anggota DPR bersengkokol dengan para koruptor sehingga berupaya menghentikan pemanggilan para petinggi BI yang bermasalah. Sebab mereka turut menikmati aliran dana BI.

Jumat, 25 Januari 2008

Surat Interpelasi BLBI Segera Dikirim ke Presiden

[Suara Surabaya] - Agung Laksono Ketua DPR RI menegaskan surat interpelasi BLBI DPR akan dikirim ke Presiden, Senin mendatang. AGUNG mengatakan draft-draft pertanyaan soal kasus BLBI sudah dibuat tim perumus dari fraksi-fraksi di DPR.

Sebelum dikirim ke Presiden, menurut AGUNG seperti dilaporkan FAIZ reporter Suara Surabaya di Jakarta, Jumat (25/01), draft pertanyaan interpelasi BLBI dan kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI) maupun substansi surat akan ditembuskan ke pimpinan-pimpinan fraksi di DPR RI. Berikut penjelasan AGUNG, .

Diantara draft pertanyaan interpelasi BLBI dan KLBI DPR, menurut AGUNG, itu berhubungan dengan sikap politik dan hukum pemerintah terhadap kebijakan dan implementasi penyelesaian kasus BLBI.

AGUNG menyerahkan sepenuhnya pada pemerintah apakah yang hadir di DPR nanti Presiden atau diwakilkan menterinya. Sesuai undang-undang tidak harus Presiden yang hadir. Tetapi tim perumus interpelasi DPR tetap minta Presiden yang hadir. Jawaban Presiden penting untuk memastikan serius tidaknya pemerintah menuntaskan kasus BLBI-KLBI.
[Okezone Dotcom] - Interpelasi BLBI di DPR akan segera digulirkan. Terkait itu, Ketua Fraksi PDIP Tjahjo Kumolo mengatakan pihaknya menginginkan agar interpelasi BLBI dihadiri sendiri oleh presiden.

?Yang hadir harus presiden, paling tidak wapres,? ujar Tjahjo, di Gedung DPR, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (25/1/2008).

Tjahjo juga menginginkan dalam memberikan jawaban nanti, Presiden menetapkan target kapan masalah tersebut diselesaikan. Dia juga meminta aparat pemerintahan seperti Kejaksaan Agung terus pro aktif dalam hal ini.

Ketua DPP PDIP ini menegaskan bahwa pihaknya sepenuhnya mendukung interpelasi BLBI. ?Dengan catatan ada pemisahan antara obligor kooperatif dengan yang tidak kooperatif,? ujarnya

Selasa, 22 Januari 2008

Presiden Ditantang Selesaikan BLBI Sebelum 2008 Selesai

[Antara News] - Beberapa kalangan menantang presiden untuk menyelesaikan masalah kasus Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) sebelum tahun 2008 selesai.

"Bila masalah BLBI tidak selesai pada Agustus 2008, maka kasus ini akan kadaluarsa," kata Ketua Umum Masyarakat Profesional Madani, Ismeth Hasan Putro, dalam peluncuran buku "Skandal BI: Ramai-Ramai Merampok Negara" di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, kasus BLBI hanya bisa diselesaikan bila pemerintah benar-benar mau menyelesaikanya. "Sebab, kita bisa lihat bahwa BPK pada tahun 2000 telah memberikan laporan mengenai penyelewengan kasus ini," katanya.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Marwan Batubara, mengatakan bahwa bila presiden bisa menyelesaikan hal ini, maka ia akan mendukung presiden pada pemilu 2009. "Presiden tidak perlu mencari dana kampanye, dengan menyelesaikan kasus ini maka presiden dapat memperoleh simpati dan kita akan mendukung pada 2009," katanya.

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Sri Edi Swasono, mengatakan bahwa kasus itu menyengsarakan rakyat.

"Kasus BLBI tidak hanya hari ini, tapi hingga 2030 akan menyengsarakan rakyat. Apa pasal? Karena pemerintah juga harus membayar bunga obligasi rekap sebanyak Rp60 triliun per tahun," katanya.

Padahal, menurut dia, bila uang itu tidak untuk membayar bunga obligasi, maka dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Untuk itu, ia mengatakan, pemerintah harus menghentikan pembayaran bunga obligasi tersebut.

Sedangkan, mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) Kwik Kian Gie, menceritakan bahwa awalnya bank-bank kolaps, maka pemerintah oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dipaksa untuk memperkuat modal perbankan dengan memberikan kucuran dana melalui obligasi rekap.

"Bank BCA, misalnya, mendapatkan obligasi rekap sebesar Rp60 triliun untuk menyehatkannya, setelah itu oleh IMF diminta untuk dijual, dan dijual dengan harga Rp20 triliun, bagaimana ini, itung-itungan bisnisnya saya 'nggak nyampe'," katanya.

Dan, ia mengemukakan, biaya bunga dari obligasi rekap tersebut kemudian harus dibayar oleh pemerintah setiap tahun. "Bank-bank yang dulu rusak dan dikucuri oleh pemerintah dengan uang, tidak ngapa-ngapain dapat dana dari pemerintah Rp60 triliun setahun, ini apa namanya," katanya.

Untuk itu, ia mendesak, agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tegas terhadap masalah ini. (*)